Yang Datang Dengan Kebaikan

Jumat, 10 Desember 2010
Bismillahhirahmannirrahim

Tidak sedikit manusia saat ini yang telah menanggalkan rasa malunya. Dilihat dari cara mereka berbusana bagi yang akhwat khususnya, bergaul, dan gaya hidup modern yang begitu jauh dari nilai-nilai syariat yang agung ini. Padahal Islam datang dengan membawa kebaikan. Islam juga telah menjadikan sifat malu ini sebagai sifat yang mulia, bahkan merupakan salah satu bentuk cabang keimanan dan menjadi salah satu faktor penyebab kebahagian seorang insan.

Sifat malu memang identik dengan wanita karena merekalah yang lebih dominan memilikinya. Namun sebenarnya sifat ini bukan hanya milik kaum hawa. Laki-laki pun akan menjadi baik kalau memiliki sifat ini. Dengan memiliki sifat ini, maka hanya kebaikanlah yang akan diraupnya, sebagaimana tercatat dalam lembaran-lembaran sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, “Malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan.” Dan dalam satu riwayat, “Malu itu baik seluruhnya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Dengan adanya sifat malu pada diri seseorang akan mendorongnya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejelekan. Akan tetapi bila malu itu sudah lenyap dari diri seseorang, maka ia akan terjatuh kedalam perbuatan maksiat dan dosa. Karena itu Rasulullah bersabda: “Termasuk yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (Riwayat Bukhari)

Rasulullah sendiri tauladan kita, adalah contoh orang yang sangat pemalu, sehingga sahabat yang mulia Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Adalah Rasulullah sangat pemalu dibandingkan dengan gadis perawan yang berada dalam pingitan.” (Muttafaq ‘Alaih)

Akan tetapi apa yang telah terjadi pada umat manusia saat ini? Rasa malu telah hilang dari sebagian besar mereka.

Bila malu ini telah hilang dari diri seorang insan, maka ia akan melangkah dari satu kejelekan kepada yang lebih jelek lagi. Dari satu kerendahan kepada yang lebih rendah lagi. Karena malu pada hakikatnya adalah menjaga diri dari hal-hal yang Allah Ta’ala haramkan dan menjaga anggota tubuh agar tidak digunakan bermaksiat kepada-Nya.

Sekarang kita pikirkan, apakah pantas seseorang disifati rasa malu sementara matanya digunakan untuk melihat hal-hal yang diharamkan? Apakah pantas dikatakan malu, bila lidahnya masih digunakan untuk ghibah, berkata dusta, mencerca dan mengadu domba?  Apakah pantas seseorang dikatakan pemalu, sementara ia masih melanggar hak dan kehormatan orang lain?

Seorang muslim yang jujur dalam keimanannya akan merasa malu kepada Allah jika melanggar kehormatan orang lain dan mengambil harta yang tidak halal baginya. Sementara orang yang telah tercabik tirai malu itu dari wajahnya, ia akan berani kepada Allah dan berani melanggar larangan-Nya. Na’udzubillah.

Ketika malu itu masih ada dalam hati seseorang, maka akan terasa betapa besar dan betapa jelek perbuatan yang mungkar, sementara kebaikan senantiasa mereka agungkan. 

Namun perlu kita ketahui, bahwa Allah tidaklah malu dari kebenaran. Maka bukan termasuk sifat malu bila kita melihat kebatilan lalu diam saja, kita enggan menolong saudara kita yang terdzalimi dan kita berat untuk mengingkari kemungkaran. Dan bukan termasuk sifat malu juga jika kita tidak mau bertanya tentang perkara agama yang samar bagi kita. Karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman: “Maka tanyakanlah kepada ahlu dzikr (orang yang memiliki ilmu) jika kalian tidak mengetahui.” (An Nahl: 43)

Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha pernah datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam dan bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi bila ia ihtilam (mimpi bersetubuh)?” Rasulullah menjawab: “Ya, jika ia melihat air mani yang keluar.” (Riwayat Bukhari)

Apakah tidak sepantasnya Ummu Sulaim menjadi contoh buat kita? Tetapi sayangnya pemahaman ini malah terbalik. Kita sering malu ketika mau bertanya tentang perkara agama kita, padahal kita tidak mengetahui. Kita sering berpikir panjang ketika akan mengerjakan amal kebajikan, karena takut ditertawakan. Tetapi kita tidak pernah merasa malu ketika melanggar hak saudara kita dan bermaksiat kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Wahai saudaraku, tidak sepantasnya kita malu dari suatu perkara yang akan membawa kita kepada kebaikan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan: “Datang seorang wanita menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam guna menawarkan dirinya kepada beliau agar diperistri oleh beliau. Wanita itu berkata: ‘Apakah engkau, wahai Rasulullah, punya keinginan terhadap diriku?’

Salah seorang putri Anas ketika mendengar kisah ini berkomentar tentang wanita itu: ‘Alangkah sedikit rasa malunya!’

Anas berkata, ‘Wanita itu lebih baik darimu, dia menawarkan diri kepada orang yang paling mulia dan paling baik (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam)’.” (Riwayat Bukhari)

Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kita sifat malu yang akan membawa kita untuk selalu berbuat baik dan mencegah dari kejahatan dan kerendahan akhlak. Wallahul Musta’an.


Sumber : http://mediagema.multiply.com/journal/item/83

0 komentar:

Posting Komentar